Hasil laporan itu sungguh memiriskan hati, karena sekitar 15,2 juta hektar hutan di Indonesia telah hilang (terdeforestasi) dengan kecepatan 1,5 juta hektar per tahun. Laporan ini secara gamblang mengemukakan bahwa pada tahun 2009 luas hutan di Indonesia hanya tersisa sekitar 46,3% atau seluas 88 juta hektar, sekitar 10,8 juta hektar diantaranya berupa hutan gambut.
Angka kehilangan hutan (deforestasi) yang terjadi di Indonesia pada periode 2000-2009 diperkirakan sebesar 15,2 juta hektar, dalam kecepatan 1,5 juta hektar per tahun. Sementara itu angka deforestasi di hutan gambut mencapai 2 juta hektar. Jika angka ini dirunut sampai 2020, berarti hutan Indonesia akan menyusut lagi sebesar 16,5 hektar. Kalau dikurangkan dengan hutan yang tersisa 88 juta hektar, maka tahun 2020 hanya akan tersisa 71,5 hektar.
Menurut Direktur Eksekutif FWI, Wirendro Sumargo, salah satu penyebab utama terjadinya deforestasi terkait erat dengan kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, tarik-menarik kepentingan antara Kementerian Kehutanan dengan sektor lain serta kepentingan Pemerintah Pusat dan Daerah. Salah satu hal yang mengemuka adalah terjadinya penundaan batas waktu pencapaian target percepatan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang berimplikasi pada deforestasi.
Wirendro mengatakan, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah di sektor kehutanan seringkali tumpang tindih dan terkesan dipaksakan. Hal ini berpengaruh besar terhadap besarnya angka deforestasi.
Laporan yang dikeluarkan FWI juga menganalisis terjadinya percepatan kehancuran hutan Indonesia yang dipengaruhi oleh kinerja pelaku usaha di sektor kehutanan. Secara umum ternyata komitmen pengelola Hak Pengusahaan Hutan (HPH) terhadap prinsip kelestarian masih sangat rendah. Hanya sebuah unit HPH yang dapat dikategorikan dalam kriteria “sangat baik”, berdasarkan penilaian Lembaga Penilai Independen (LPI).
Sementara itu kinerja HTI yang akhir-akhir ini semakin naik daun, disinyalir hanya sebagai upaya mengejar penguasaan lahan dan menggenjot produksi kayu, tanpa upaya serius untuk merealisasikan penanaman. Dalih serupa juga terjadi pada maraknya pelepasan dan pinjam-pakai kawasan hutan untuk kepentingan perkebunan sawit.
Pada sisi lain, laporan ini juga mengulas soal potensi deforestasi yang terjadi karena aktivitas pertambangan. Setidaknya terdapat lebih dari 15 juta hektar konsesi pertambangan yang berada dalam kawasan hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Sementara izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan hanya sebesar 205 ribu hektar.
Deforestasi bukan hanya soal kayu yang ditebang di kawasan hutan, namun juga soal peruntukan lahan untuk sektor perkebunan dan pertambangan. Perbaikan tata kelola kehutanan dan tata ruang wilayah berperan penting untuk membendung hilangnya jutaan hektar areal berhutan di Indonesia.
Bercermin pada laporan FWI, bisa dipastikan di tahun-tahun selanjutnya jumlah hutan Indonesia makin berkurang, seiring dengan tidak terkendalinya eksplorasi hutan. Oleh karena itu, perlu tindakan nyata untuk mencegah bencana ini tidak terjadi.
Mengapa dikatakan bencana, karena hilangnya hutan berarti mengundang hadirnya malapetaka bagi rakyat Indonesia. Tak hanya reaksi dari alam itu sendiri berupa banjir bandang, tanah longsor dan sebagainya, tapi juga efek yang ditimbulkan sesudahnya, seperti makin kurangnya sumber air bersih.
Makin sedikit hutan, berarti makin memperkecil cadangan air bersih. Jika tidak segera dilakukan konservasi atau pemeliharaan dan perlindungan sumber daya air secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan di masa datang, maka Indonesia akan menjadi negara yang kekurangan pasokan air bersih.
Untuk itulah, agar pasokan air bersih tak berkurang, maka hutan harus diselamatkan. Salah satunya dengan menjadi menyokong penuh upaya Pemerintah yang menggagas penanaman 1 (satu) milyar pohon.
Djoko Winarno dari Kementerian Kehutanan dalam tulisannya beberapa hari lalu di salah satu media massa nasional mengatakan Program Penanaman 1 Miliar Pohon Tahun 2010 telah melebihi target dengan keberhasilan menanam 1,7 milyar pohon (waspada.co.id).
Untuk program tahun 2011, Djoko Winarno mengatakan sudah tertanam 827 juta batang pohon atau 82,7% dari target 1 miliar pohon. Dari sudut pandang target pencapaian, jelas program tahun 2010 dapat dikatakan telah berhasil sesuai target karena telah melebihi target awal yang hanya menanam 1 miliar pohon. Program tahun 2011 yang akan berakhir pada tanggal 31 Januari 2012 juga diperkirakan akan mengikuti jejak keberhasilan program tahun 2010.
Cara lain untuk menjaga ketersediaan sumber daya air bersih, dengan mewajibkan setiap pengembang properti menyediakan lahan untuk ruang terbuka hijau. Jumlah pohon yang ditanam di area itu, minimal harus memadai untuk memenuhi kebutuhan oksigen warga perumahan bersangkutan.
Jika peraturan itu tak dipatuhi, maka pengembang properti bersangkutan harus diberikan teguran dan akhirnya dicabut izinnya jika terus melanggar. Langkah ini sangat penting, untuk mewujudkan program green property yang harus ditularkan semangatnya pada semua pengembang.
Satu hal yang tak boleh dilupakan pemerintah untuk melindungi sumber daya air bersih, dengan memberi perhatian pada sanitasi terutama buangan rumah tangga dan juga jamban. Jika pengembang tak bisa menyediakan pengelola limbah di perumahan yang ia bikin, maka ia harus menyatukan septic tank warga perumahan di satu tempat.
Langkah ini sangat perlu untuk menghindari hadirnya banyak septic tank tak ramah lingkungan. Soalnya bukan rahasia lagi, jika banyak warga perumahan yang melobangi septic tanknya, untuk menghindari penyedotan berkala yang tentunya juga menyedot pengeluaran rumahtangga.
Jika septic tank sudah disatukan, sebenarnya bisa dinetralisir dengan ekosistem alami. Allah SWT Sang Maha Pencipta, sebenarnya sudah menciptakan predator untuk memakan tinja manusia. Predator yang dimaksud seperti ikan betok atau puyu dan juga ikan lele serta ikan pemakan tinja lainnya.
Ikan-ikan inilah yang dimasukkan dalam jumlah banyak dalam septic tank bersangkutan. Jika ikan-ikan ini sudah memakan tinjanya, maka tinja mereka menjadi lebih cepat terurai dan tidak menimbulkan bau yang mengganggu pernafasan.
Tinja-tinja ikan gampang dibersihkan, diambil jika sudah banyak, untuk dijadikan pupuk di ruang terbuka hijau di perumahan bersangkutan. Dengan cara ini, penduduk perumahan bisa membuat sumur dan aman dari pencemaran tanah akibat rembesan tinja.
Jika pengelolaan tinja di Indonesia sudah setara dengan negara maju, tentu tidak perlu lagi septic tank. Tinja bisa dikelolan jadi pupuk ataupun untuk keperluan lainnya, sehingga lebih berdaya guna.
Pokoknya, apapun perlakuan terhadap tinja agar tak mencemari air tanah, harus diambil, agar air tanah tetap sehat terjaga dan layak untuk keperluan sehari-hari. Pemerintah dengan sendirinya akan hemat dalam hal penyediaan obat-obatan untuk warga miskin yang sering tak memperhatikan kualitas air yang diminum.
Konservasi sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan dan itu harus cepat dilakukan tindakan nyata. Cara terbaiknya, tentu harus mulai dengan diri sendiri, dengan berhemat air bersih yang digunakan sehari-hari.
Dan, semoga dengan tulisan ini agar kita tak menyia-nyiakan setes air bersih. Aaminn...
Post a Comment
Beberapa panduan dalam berkomentar :
Untuk menyisipkan kode ⇨ [code]KODE ANDA[/code]
Untuk menyisipkan quote ⇨ [blockquote]QUOTE ANDA[/blockquote]
Untuk menyisipkan gambar ⇨ [img]URL Gambar[/img]
Untuk menyisipkan video ⇨ [youtube]URL Video[/youtube]
Anda bisa mengekspresikan komentar Anda dengan emoticon
Klik subscribe by email agar Anda segera tahu balasan komentar Anda